Dwi Amalia Rahmadhani


Kesatria baja hitam
Sabtu, 18 Mei 2013 pukul 00.30
(d.k)                                                                                                               
Aku memang tak bisa menyusun kata-kata, tapi apa yang aku lihat adalah benar. Dia hanya tertidur di hadapanmu. Angin malam membuat tatapannya lebih dingin. Tubuhnya dingin darahnyapun membeku.

            Siang tadi tak tercium sedikitpun bau perpisahan disini. Mungkin karena takdir tak menentu atau mungkin kau sedang bermimpi. Walaupun kau sudah pernah melihatnya tertidur, tetapi kau takut terhadap yang satu ini. Mengapa dia harus terbaring di sini, bukankah dia lebih kuat jika hanya untuk terbangun!!!!

Sekarang sudah malam dan kau masih tetap memerhatikannya. Tak ada yang bisa di ajak bicara, memukulnya pun dia tak akan membalasmu. Berharap dia bangun dan mengajakmu bercanda, tapi tak mungkin. Berharap saja. Gelap sekali di sini. Mengapa rimbunan orang mengelilingimu. Sayup-sayup terdengar alunan lembut meringih. Hewan malampun tak mungkin menahan diri. Kau menjerit! 

Terjagalah, kain putih melindunginya dari cekaman angin malam ini. Kau  masih duduk-duduk di sampingnya. Sedikit mengantuk, tapi kau tak bisa tidur. Kau terjaga. Aku melihat sepasang mata. Mata yang mirip denganmu. Berjalan perlahan ke arahmu. Tatapan lembut dan meneduhkan yang tak membuatmu gentar. Pejantan dengan taring dan kuku yang tajam. Terbangunlah dan pukul aku!

Aku tahu sebentar lagi kawanan bulu putih akan datang kemari, tapi entah kenapa untuk sekali ini kau tak ingin menyerahkannya begitu saja. Kau  ingin mencoba melindunginya. Aku tau kau menyesal. Aku tak ingin kelihatan gentar. Aku  menatap mata si bulu putih yang berhadapan denganmu. Mencoba mengucapkan, “Sekali ini saja, jangan bawa ia pergi!”

Sepertinya tatapanku dipatahkan oleh kepungan makhluk-makhluk putih yang bercahaya.

“Tersadarlah, bahwa sekarang kau telah sendiri,” kata tajam, menusuk tulangmu yang paling kokoh.

“Memang aku cuma sendiri. Seharusnya aku takut, tapi aku coba bulatkan tekad,” balasmu menggores denyut nadinya. “Mungkin sekali ini aku tak perlu menyesal.”

“Omonganmu setajam cakarmu,” tangkisnya.

Aku semakin di kepung. Geraman kawanan cahaya putih semakin mencekam suhu udara malam ini. Aku tahu pasti, kali ini hanya amarah yang mengokohkan tubuhmu, kau tak tampak rapuh. Ragamu melekat kuat.

Kau berucap seakan kesepian. Mentari tak juga datang, hanya malam dan tangisan yang bisa kau ajak bermain. Tak banyak yang bisa kulakukan dengan sepasang mataku ini. Sampai saat ini, saat bulan purnama naik ke puncak tertingginya. Sampai kau berdiri melindungi tubuh tertidur yang bahkan tak membantuku ini.

Jangan berucap kau tak kuat, jangan berucap kau tak punya semangat. Kau lebih kuat dari yang kau tahu. Tubuhmu kokoh bak baja besi, hatimupun tak boleh goyah walau perih. Hantam semua takdirmu. Dan jangan biarkan kau terjatuh. Karena kau kesatria tangguh :*




"Hai adik kecil, jangan lagi bersedih karena aku tak punya banyak lolipop untuk menghiburmu (lagi) ({})"


 
0 Responses

Posting Komentar