Dwi Amalia Rahmadhani







 



“Aku hanya ingin diperlakukan seperti wanita!” Ucapku tegas sambil menyorot matanya.

“Memangnya, aku memperlakukanmu seperti waria?” Jawabnya singkat tanpa memperhatikan aku yang membuat emosiku naik hingga level teratasnya.

“Beginilah rasanya ketika harus berbicara dengan sebuah manusia berhati batu. Lebih baik hidup tanpa hati biar aku gak pernah tau apa rasanya sakit hati.” Ucapku seolah berbicara pada diri sendiri.

“Aku salah apa lagi?”

“Kamu itu lelaki berhati batu, makanya gak peka. Percuma kamu punya perasaan kalau tidak dipakai dan digunakan!” Bentakku menyentuh kasar gendang telinganya.

Dia hanya tercengang, tak percaya aku bisa mengeluarkan suara sekencang itu.

“Jadi, aku harus gimana dong, Wanitaku?” Tanyanya dengan nada sedikit manja,

Aku begitu membenci detik dimana ia bergelut manja seolah mencari cela agar terhindar dari amukan masaku. Kalau saja ada sebuah barang di tanganku, sudah kulemparkan ke wajahnya dan akan kubedah tubuhnya agar aku dapat melihat apakah  memang benar hati pria ini terbuat dari batu. Oh Tuhan sabarkanlah hambahmu ini..

“Kok nanya? Pikir sendiri, Bodoh!” Jawabku sinis,

Aku masih memalingkan wajah, enggan menatapnya wajahnya yang datar dan seringkali tak berekspresi itu.

“Ayolaah, berhentilah menyusahkanku. Aku sedang tidak ingin berdebat saat ini.”
“Aku mau ice cream.” Ucapku singkat.

“Bagaimana kalau mie instan? Diluar panas sekali untuk keluar sayang.”

“Bilang saja kalau kau tak mempunyai uang!”

“Maafkan aku !” Jawabnya menunduk.

“Oh Tuhan , adakah kelebihanmu yang lain selain mengaruk-arukan hatikuuuuuuuuuuuuuu!!!!”

"Sebentar akan ku pikirkan” Ucapnya, tanpa wajah berdosa mencoba menghibur.

“Astaga Tuhaaaaaaaaaan, bisakah kau ambilkan aku pisau didapur lalu kemudian bunuh aku, hah?!”

“Astaga Tuhaaaaaaaaaan, mengapa mahluk ciptaanMu yang satu ini kelewat sensi!” Ucapnya sambil menggenggam kepalaku dengan kedua tangannya lalu kemudian menghadapkan wajahku lebih dekat dengan wajahnya.

“Kamu maunya diperhatiin tapi enggak mau memperhatikan, kamu maunya disayangin tapi jarang menyayangi, kamu maunya dipedulikan tapi jarang mempedulikan, kamu selalu menyalahkan tapi seringkali enggak mau disalahkan, kamu itu seringkali………….”

“STOP! Bisa enggak sih kamu enggak buat aku tambah capek, jangan bertingkah seperti anak kecil! Jangan buat aku seakan aku tolol.” Bentaknya dengan nada tinggi, emosinya memuncak dan aku terdiam.

Seketika suasana menjadi hening, aku terdiam diposisiku. Untuk sekedar menjatuhkan air matakupun aku takut. Aku tak tahu kenapa aku bisa hidup bersama lelaki tolol seperti dia, akupun ragu jika suatu hari aku dilahirkan kembali apakah aku akan tetap memilhnya. Dia selalu saja menganggapku bodoh, dia memperlakukanku tidak seperti wanita. Dia gilaaaaaaaaaa dan kau begitu membencinyaa, Tuhaaaaaaaaaan.

Dia berjalan ke arahku, menempelkan badanku kedinding,
“Lo, cewek maja kayak lo itu gak tau apa rasanya sakit. Hidup lo selalu seneng, hartaa bokap lo banyak. Dan sikap manja lo itu justu yang lama-kelamaan buat hati lo mati. Gak usah terlalu banyak ngeluh, kalau lo mau orang yang lo cintai berubah jadi yang lo mau, suruh robot aja, jangan suruh manusia apalagi gue!”

Aku hanya terdiam menatapnya, mataku terpejam, kedua bahuku sakit karena cengkaman tangannya,  air matakupun perlahan menuruni kelopak mungil ini.

“Enggak pernah ada cowo yang memperlakukan aku seperti ini.” ucapku

“Itu masalahnya! Terlalu banyak cowo idiot yang mau diatur-atur hidupnya. Dan aku bukan salah satu dari mereka. Kamu bisa miliki hati seseorang, tapi kamu belum tentu miliki jalan hidupnya! Cobalah mengerti sudut pandangku, Sayang. Jangan gunakan keegoisanmu untuk mempertahankan sesuatu yang sebenarnya tak baik untukmu. Ini bukan hanya masalahmu, tapi ini masalah kita, Sayang.” Ucapnya menenangkanku, nada bicaranya melemah ketika melihat air mataku. Dia gunakan tangannya yang lembut untuk menghapus air mataku.

“Tuhan selalu punya rencana tersendiri, buktinya kini aku jadi kekasihmu dan aku banyak belajar darimu.”

“Pikiranku bisa saja salah, tapi pikiran kita bisa saja benar, karena kita memikirkannya berdua, bukan sendiri-sendiri.” Ucapnya lembut sambil memasang senyum simpul dibibirnya. Tak pernah aku merasa setenang dan sehangat itu.

Ketika kau berulangtahun kekasihmu akan memberikanmu seikat bunga mawar, tetapi dia hanya memberiku seikat rumput ilalang. Tetapi aku bahagia.
Ketika kau kelaparan kekasihmu akan mengajakmu kerestoran mahal, tetapi dia hanya memasakkanku sebungkus mie instan untukku. Tetapi aku bahagia.
Ketika kau ingin bepergian kekasihmu akan mengantarmu dengan kendaraan mewahnya, tetapi dia hanya menggendongku ketika kelelahan saat berjalan menyebrang jembatan. Tetapi aku bahagia.
Dan ketika kekasihmu akan melamarmu ia akan memberikanmu sebuah cincin indah dan memasangkannya dijemarimu, tetapi dia hanya membentuk lingkaran kecil dengan rumput  mengukurnya dengan bulan dan kemudian memasangkannya dijariku. Tetapi aku bahagia.


Lelaki itu, ia memang tak pantas ku sebut kekasih. Ucapannya begitu kasar, hidupnya tak karuan, penampilannya aruk-arukan, hidup tanpa kecukupan dan tak ada sisi kelayakan ketika hidup bersamanya. Tetapi hanya dengan dirinyalah aku belajar hidup dan belajar apa itu arti hidup bahagia tanpa materi hingga aku dapat menyebutnya cinta sejati.

Label: | edit post
0 Responses

Posting Komentar