“Aku hanya
ingin diperlakukan seperti wanita!” Ucapku tegas sambil menyorot matanya.
“Memangnya, aku memperlakukanmu seperti waria?” Jawabnya singkat tanpa memperhatikan
aku yang membuat emosiku naik hingga level teratasnya.
“Beginilah
rasanya ketika harus berbicara dengan sebuah manusia berhati batu. Lebih baik
hidup tanpa hati biar aku gak pernah tau apa rasanya sakit hati.” Ucapku seolah berbicara
pada diri sendiri.
“Aku salah
apa lagi?”
“Kamu itu
lelaki berhati batu, makanya gak peka. Percuma kamu punya perasaan kalau tidak
dipakai dan digunakan!” Bentakku menyentuh kasar gendang telinganya.
Dia hanya
tercengang, tak percaya aku bisa mengeluarkan suara sekencang itu.
“Jadi, aku
harus gimana dong, Wanitaku?” Tanyanya dengan nada sedikit manja,
Aku begitu
membenci detik dimana ia bergelut manja seolah mencari cela agar terhindar dari
amukan masaku. Kalau saja ada sebuah barang di tanganku, sudah kulemparkan ke wajahnya
dan akan kubedah tubuhnya agar aku dapat melihat apakah memang benar hati pria ini terbuat dari batu.
Oh Tuhan sabarkanlah hambahmu ini..
“Kok nanya?
Pikir sendiri, Bodoh!” Jawabku sinis,
Aku masih
memalingkan wajah, enggan menatapnya wajahnya yang datar dan seringkali tak
berekspresi itu.
“Ayolaah,
berhentilah menyusahkanku. Aku sedang tidak ingin berdebat saat ini.”
“Aku mau ice
cream.” Ucapku singkat.
“Bagaimana
kalau mie instan? Diluar panas sekali untuk keluar sayang.”
“Bilang saja
kalau kau tak mempunyai uang!”
“Maafkan aku
!” Jawabnya menunduk.
“Oh Tuhan ,
adakah kelebihanmu yang lain selain mengaruk-arukan hatikuuuuuuuuuuuuuu!!!!”
"Sebentar
akan ku pikirkan” Ucapnya, tanpa wajah berdosa mencoba menghibur.
“Astaga
Tuhaaaaaaaaaan, bisakah kau ambilkan aku pisau didapur lalu kemudian bunuh aku,
hah?!”
“Astaga
Tuhaaaaaaaaaan, mengapa mahluk ciptaanMu yang satu ini kelewat sensi!” Ucapnya
sambil menggenggam kepalaku dengan kedua tangannya lalu kemudian menghadapkan
wajahku lebih dekat dengan wajahnya.
“Kamu maunya
diperhatiin tapi enggak mau memperhatikan, kamu maunya disayangin tapi
jarang menyayangi, kamu maunya dipedulikan tapi jarang mempedulikan, kamu
selalu menyalahkan tapi seringkali enggak mau disalahkan, kamu itu
seringkali………….”
“STOP! Bisa
enggak sih kamu enggak buat aku tambah capek, jangan bertingkah seperti anak
kecil! Jangan buat aku seakan aku tolol.” Bentaknya dengan nada tinggi,
emosinya memuncak dan aku terdiam.
Seketika
suasana menjadi hening, aku terdiam diposisiku. Untuk sekedar menjatuhkan air
matakupun aku takut. Aku tak tahu kenapa aku bisa hidup bersama lelaki tolol
seperti dia, akupun ragu jika suatu hari aku dilahirkan kembali apakah aku akan
tetap memilhnya. Dia selalu saja menganggapku bodoh, dia memperlakukanku tidak
seperti wanita. Dia gilaaaaaaaaaa dan kau begitu membencinyaa, Tuhaaaaaaaaaan.
Dia berjalan
ke arahku, menempelkan badanku kedinding,
“Lo, cewek
maja kayak lo itu gak tau apa rasanya sakit. Hidup lo selalu seneng, hartaa
bokap lo banyak. Dan sikap manja lo itu justu yang lama-kelamaan buat hati lo mati.
Gak usah terlalu banyak ngeluh, kalau lo mau orang yang lo cintai berubah jadi
yang lo mau, suruh robot aja, jangan suruh manusia apalagi gue!”
Aku hanya
terdiam menatapnya, mataku terpejam, kedua bahuku sakit karena cengkaman
tangannya, air matakupun perlahan
menuruni kelopak mungil ini.
“Enggak
pernah ada cowo yang memperlakukan aku seperti ini.” ucapku
“Itu
masalahnya! Terlalu banyak cowo idiot yang mau diatur-atur hidupnya. Dan aku
bukan salah satu dari mereka. Kamu bisa miliki hati seseorang, tapi kamu belum
tentu miliki jalan hidupnya! Cobalah mengerti sudut pandangku, Sayang. Jangan
gunakan keegoisanmu untuk mempertahankan sesuatu yang sebenarnya tak baik
untukmu. Ini bukan hanya masalahmu, tapi ini masalah kita, Sayang.” Ucapnya
menenangkanku, nada bicaranya melemah ketika melihat air mataku. Dia gunakan
tangannya yang lembut untuk menghapus air mataku.
“Tuhan
selalu punya rencana tersendiri, buktinya kini aku jadi kekasihmu dan aku
banyak belajar darimu.”
“Pikiranku
bisa saja salah, tapi pikiran kita bisa saja benar, karena kita memikirkannya
berdua, bukan sendiri-sendiri.” Ucapnya lembut sambil memasang senyum simpul
dibibirnya. Tak pernah aku merasa setenang dan sehangat itu.
Ketika kau berulangtahun
kekasihmu akan memberikanmu seikat bunga mawar, tetapi dia hanya memberiku
seikat rumput ilalang. Tetapi aku bahagia.
Ketika kau
kelaparan kekasihmu akan mengajakmu kerestoran mahal, tetapi dia hanya
memasakkanku sebungkus mie instan untukku. Tetapi aku bahagia.
Ketika kau
ingin bepergian kekasihmu akan mengantarmu dengan kendaraan mewahnya, tetapi
dia hanya menggendongku ketika kelelahan saat berjalan menyebrang jembatan. Tetapi
aku bahagia.
Dan ketika
kekasihmu akan melamarmu ia akan memberikanmu sebuah cincin indah dan
memasangkannya dijemarimu, tetapi dia hanya membentuk lingkaran kecil dengan
rumput mengukurnya dengan bulan dan
kemudian memasangkannya dijariku. Tetapi aku bahagia.
Lelaki itu,
ia memang tak pantas ku sebut kekasih. Ucapannya begitu kasar, hidupnya tak
karuan, penampilannya aruk-arukan, hidup tanpa kecukupan dan tak ada sisi
kelayakan ketika hidup bersamanya. Tetapi hanya dengan dirinyalah aku belajar
hidup dan belajar apa itu arti hidup bahagia tanpa materi hingga aku dapat
menyebutnya cinta sejati.